Oleh Iwan Harsono*
Beberapa waktu yang lalu DPRD & Pemda NTB mengesyahkan APBD NTB 2002. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengkaji peranan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai salah satu sumber Pendapatan asli daerah (PAD) dalam pembiayaan pembangunan di NTB berdasarkan APBD NTB 2002.
Seperti diketahui, sumber-sumber penerimaan Daerah dalam rangka otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal terdiri dari: Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan;Pinjaman Daerah; dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah. Dasar hukum yang mengatur tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah Undang-Undang No. 34 tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-undang RI No.18 Tahun 1997 tentang pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan Daerah yang berasal dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan dan Lain-lainnya Pendapatan Asli Daerah yang sah. Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau bada Kepala Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan Daerah. Retribusi Daerah adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
Badan usaha Milik daerah NTB
BUMD di NTB sejatinya bisa menjadi salah satu sumber pendapatan ternyata tidak bisa memberikan angka yang besar bagi pendapatan asli daerah. Bahkan setiap tahun keberadaan BUMD itu selalu disubsidi dari dana APBD. Dalam APBD NTB yang sudah diketok/disyahkan terdapat 4 (empat) BUMD yaitu; PT Bank NTB (target 2,5 miliar), Perusahaan daerah Wisaya Yasa (0), Perusahaan daerah BPR LKP-se NTB ( 1,2 miliar) , dan Yayasan Media Suara Nusa 58 juta). Perusahaan daerah Wisaya Yasa. Perusahaan daerah Wisaya yasa selalu merugi sehingga target laba yang diperoleh ditulis 00 (nol). Boleh dikatakan secara umum BUMD itu mengalami kerugian dan mereka terpaksa harus melakukan merger untuk bisa bertahan.
Demikian juga halnya di tingkat kabupaten. Lombok Barat misalnya : Tahun 2000 Pemkab Lombok Barat sebagai pemegang saham pada PT Bank NTB tidak memperoleh keuntungan, maka pada tahun 2001 kembali tidak menetapkan pembagian laba dari perusahaan daerah tersebut. Tanpa laba dari PT Bank NTB tetap saja pemerintah daerah rugi. Karena pesimisme itu target PDAM Menang-Mataram Rp 310 juta tahun 2001 menurun dari tahun 2000 yang jumlahnya mencapai Rp 700 juta. Penurunan ini akibat dari kewajiban PDAM untuk membayar utang-utang yang ada, perusahaan Tripat (Patut, Patuh, Pacu) terjadi penurunan pembagian laba Rp 50 juta, tahun 2000 laba yang diberikan Rp 75 juta menjadi Rp 25 juta tahun 2001 dengan alasan yang sama. Perusahaan Daerah yang menjadi sumber PAD baru adalah BPR, tahun 2000 tidak memberikan sumbangan, 2001 ditargetkan Rp 110 juta.
Angka-angka diatas mengisyaratkan perlu ada penataan kembali menejemen BUMD di NTB dan diserahkan kepada menejemen yang profesional dengan gaji yang profesional pula sehingga ada insentif yang jelas bagi menejemen untuk mengatur dan mengelola BUMD. Dalam menejemen yang profesional yang saya maksud terdapat tahapan yang jelas dalam mengurus perusahaan mulai dari Planning, Organising, Actuating dan Controling. Yang dilaksanakan oleh orang yang ahli di bidangnya – the right man on the right place. BUMD ini harus belajar banyak dari pengelolaan private enterprise. Intervensi pemerintah yang berlebih-lebihan dan tidak proporsionalpun harus dikurangi sekali lagi harus karena pengalaman dibeberapa daerah kegagalan perusahaan daerah itu disebabkan oleh faktor ini. Selanjutnya perlu dipikirkan peleburan (merger) dengan maksud untuk penyehatan dan rasionalisasi perusahaan dengan target untuk mencapai keuntungan yang optimal dengan tampa melupakan kepentingan dan visi/misi pembangunan di daerah NTB, sehingga perusahaan daerah bisa berfungsi sumber PAD. Dalam Merger dan memperbaiki menejemen perusahaan daerah perlu dipikirkan lahan yang tepat sehingga bisa terus survive.
Beberapa Pertanyaan
Pertanyaan yang timbul sebagai akibat dari kondisi sekarang adalah, masih mungkinkah BUMD di NTB dalam jangka panjang menjadi andalan pemda atau setidak-tidaknya mempunyai sumbangan yang meningkat terhadap PAD NTB dimasa yang akan datang? Jawabannya bergantung kepada political will dari pemerintah propinsi NTB sendiri dalam menata dan memberi ruang (independensi) kepada kaum profesional pengelola BUMD. Selanjutnya juga tergantung dari mental dan kinerja BUMD itu sendiri untuk mengelola dan melihat lahan yang potensial menarik keuntungan. Bila kinerjanya tetap saja seperti dulu-dulu, jangan diharapkan BUMD bisa memberikan kontribusi besar bagi PAD. Pada kondisi seperti ini, tetap saja pemerintah akan mengandalkan pajak dan retribusi sebagai sumber utamanya. Dalam APBD tahun 2002, ditargetkan sumber pendapatan dari total laba perusahaan daerah hanya mencapai ( 3,78 miliar) atau 5 % persen dari total PAD NTB atau 1,1 persen dari Total anggaran Belanja (Rutin+Pembangunan) NTB tahun 2002. Kalau dilihat dari sisi pengeluaran pemerintah daerah, pemasukan dari BUMD (kalau bisa mencapai 100% dan ini pesimis) hanya setara dengan pengeluaran untuk anggaran rutin pos perjalanan dinas atau sepersepuluh pengeluaran rutin pos lain-lainya pemerintah NTB dalam anggaran tahun 2002 yang nilainya 30 miliar lebih. Dan perlu diingat bahwa target inipun menurun dibandingkan dengan target tahun 2001.
Pertanyaan kita yang lain adalah pesan apa yang bisa ditangkap dari angka sumbangan (share) 5% dan 1,1% tersebut diatas? Ini artinya pemerintah daerah tidak memiliki kreatifitas dalam menggali sumber daya alam yang ada. Pemerintah daerah NTB dan kabupaten di NTB sekarang mandul karena hanya bisa menarik dana dari masyarakat melalui Pajak daerah ( 46,239 miliar), Pos retribusi daerah ( 12,874 miliar), Pos lain-lain pendapatan asli daerah (8,089 miliar) dan hanya 3,7 miliar dari BUMD – biasanya angka target ini kalau nggak menurun adalah rugi. Harus diingat, masyarakat NTB sudah terlalu banyak dibebani dengan pungutan-pungutan pajak dan retribusi; mulai dari kebutuhan dapur sampai kebutuhan yang bersipat lux (mewah). Perhatikan saja, membeli sabun, sampo, dan alat mandi lainnya dikenakan pajak. Pergi ke terminal dikenai retribusi. Bayar tagihan listrik harus membayar retribusi kebersihan dan penerangan jalan. Kalau berbagai pungutan retribusi dan pajak itu dikembalikan secara benar kepada masyarakat barangkali bukan sesuatu yang mesti didiskusikan. Akan tetapi karena sumber PAD itu kebanyakan digunakan untuk membiayai kegiatan rutin menjadi perlu dipertanyakan komitmen terhadap rakyatnya. Sebuah penelitian bahkan menyebutkan bahwa 90% PAD di daerah-daerah di Indonesia digunakan untuk membiayai biaya rutin. Dalam tahun 2002 di NTB sendiri biaya rutin itu mencapai 77.18 persen dari APBD. Dan untuk Kabupaten Bima saya pikir untuk tahun 2002 ini melebihi angka propinsi.
Pemungutan dana dari masyarakat dan mandulnya kreativitas pemerintah ini sepertinya telah membudaya di masyarakat. Pemandangan semacam ini dapat disaksikan ketika masyarakat ramai-ramai menyambut perayaan dan kegiatan kemasyarakatan. Hampir di setiap tempat masyarakat membuat pungutan. Yang jelas, selama ini kita mengakui bahwa politik (termasuk kebijakan pemerintah) senantiasa menjadi panglima dalam pembentukan budaya (cultural building). Tegasnya, pemerintah memiliki peranan strategis dalam pembentukan tradisi dan budaya baru pada masyarakat karena memiliki kekuatan yang besar untuk melakukan hal itu. Bahkan, pada pemerintahan yang tiran atau otoritarian pemerintah bisa membuat rekayasa budaya melalui berbagai strategi dan keputusannya. Pemerintah daerah yang mandul membuat dirinya menjadi kaku dalam menjalankan aktifitasnya. Karena kekakuan ini pemda tidak bisa membuka ruang publik yang potensial bagi pemberdayaan masyarakatnya, termasuk ruang untuk mengembangkan dunia usaha. Kegagalan BUMD ini bisa juga diinterpretasikan sebagai kegagalan pemda sebagai akibat dari Pemda yang selalu terjebak pada sikap-sikap yang pragmatis yang membuat dirinya berputar pada orbit yang itu-itu juga.
Kemandulan PEMDA
Rendahnya penerimaan pemerintah dari BUMD ini disamping disebabkan oleh karena kemandulan pemda, menejemen yang tidak efisien dan efektif dan rendahnya kreativitas pemda mungkin juga disebabkan oleh karena masih kurang di jiwainya otonomi daerah itu sendiri. Harus diakui bahwa masih banyak pemerintah daerah kabupaten di NTB yang memandang otonomi hanya sebatas “kewenangan dan kekuasaan” saja. Padahal, pelaksanaan otonomi tidak hanya sebatas itu, melainkan disertai dengan kemandirian daerah membiayai keperluan daerah masing-masing. Sebagai bukti, ketika pusat berencana mengurangi dana alokasi umum (DAU) untuk mendorong kemandirian daerah, ada beberapa daerah yang ribut. Padahal, dengan diterapkannya otonomi daerah itu, Pemda harus bisa membiayai anggarannya sendiri. Ini bisa didapat melalui empat sumber pendapatan asli daerah (PAD), yakni hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah, serta PAD lainnya yang sah seperti disebut diatas. Seharusnya Pemda menciptakan iklim kondusif untuk menciptakan peluang usaha di daerahnya. Hal itu penting dilakukan karena penerapan desentralisasi yang tinggi akan memberikan rangsangan terhadap perkembangan sektor riil yang bisa meningkatkan PAD dan pertumbuhan ekonomi daerah.
Otonomi daerah yang telah berumur setahun membuat Pemda ‘kebablasan’ dalam mencari sumber pembiayaan daerah. Misalnya terdapat beberapa kasus penerapan pajak oleh Pemda yang tidak sesuai dengan aturan pemerintah pusat. Misalnya, banyak retribusi dan pajak daerah yang dianggap oleh wajib pajak termasuk termasuk pengusaha terlalu tinggi nilainya. Hal ini sangat memberatkan investor, yang pada akhirnya, malah mengurangi daya tarik investasi bagi daerah itu sendiri. Kalau sudah begitu keadaannya bagaimana perusahaan di NTB (termasuk perusahan daerah bisa berkembang (memperoleh laba yang banyak) untuk mendukung pembangunan di daerah ini.
Akhirnya pemerintah daerah NTB harus lebih serius mengelola BUMD untuk memberi arti otonomi daerah yang sebenarnya. Harus dibuatkan rencana jangka panjang yang serius sehingga dalam jangka itu BUMD ini akan menjadi andalan dalam pembiayaan pembangunan daerah. Bukankan esensi dari otonomi itu sendiri adalah self government dan self reliance seperti yang diungkapkan oleh Drs. H. Syaukani the Chairman of the Board of the All-Indonesian Association of Regency Governments (APKASD) dalam wawancara dengan wartawan Harvest International Decision Makers edisi Juni 2001 “No water will come out continuously in long term, so the duty of the regional governments is to make the towel wet and keep it wet” – dalam kerangka otonomi daerah, tidak ada air (dana) yang terus mengalir deras, tugas dari pemda adalah membuat “handuk basah” dan pertahankan itu terus basah.
——————————————————————–
*) Penulis adalah Lektor dalam Ilmu Pengembangan Ekonomi Regional pada FE-UNRAM alumni School of Economics the University of New England New South Wales Australia.
Leave a Reply