DR Iwan Harsono

Memahami Australia & Politsasi dalam “Krisis Tampa”

·

·

Dimuat Di Lombok Post 10 September 2001

Oleh Iwan HARSONO *)

Dalam dua minggu terakhir ini hampir semua media massa luar dan dalam negeri memuat berita “Krisis Tampa”. Termasuk Lombok Post tanggal 6 September 2001 dengan judul “Jadi komoditas Politik”.  Krisis yang terjadi akibat garis keras perdana menteri Australia John Howard untuk tidak mengizinkan kapal barang Norwegia “Tampa” mendaratkan pengungsi yang diselamatkan dari Kapal Motor Palapa berbendera Indonesia yang tenggelam. Krisis ini melibatkan 3 negara yaitu Indonesia, Australia, dan Norwegia. Setelah melewati ketegangan lebih dari seminggu, akhirnya pengungsi itu diterbangkan ke  Selandia Baru dan Nauru 4 September 2001.

Tulisan ini ingin memaparkan sedikit saja perasaan umum masyarakat Australia dan kebijakan Australia terhadap pendatang Asia dalam rangka memahami  keputusan politik perdana menteri Australia John Howard berdasarkan pemberitaan media masa  Australia dan pengamatan penulis bermukim di Australia.

Secara formal kebijakan pemerintah Asutralia terhadap pendatang termasuk “Assylum Seeker” adalah non diskriminatif (Australia Selayang Pandang,.2000). Australia juga terikat pada konvensi hukum laut PBB (UNCLOS) yang mulai berlaku 16 November 1994. Pasal 98 konvensi itu menjelaskan tentang tugas memberikan bantuan. Setiap negara yang memiliki pantai terdekat (coastal line) dari lokasi kejadian harus membantu kapal yang melambaikan bendera sebisa mungkin sehingga bisa menghindarkan bahaya baik pada kapal dan awak kapal. Dalam hal kapal Tampa jelas bahwa jarak terdekat adalah ke Australia, Christmas Island, 75 mil laut dan bukan ke Indonesia, 120 mil laut.

Dengan demikian jelas bahwa Australia memikul tanggung jawab tersebut. Menurut pengamatan saya, ada empat pengingkaran (misleading) yang dilakukan oleh Howard. Pertama, dengan mengatakan bahwa orang orang ini harus dikembalikan ke Indonesia karena dari sana lah mereka berasal. Kedua, mengklaim bahwa Australia adalah penampung pengsungsi terbesar kedua setelah Kanada dan ini langsung dibantah oleh Juru bicara PBB Marissa Bandharangsi dalam wawancara di Radio Nasional Australia (ABC) dan dimuat harian di Australia The Age tanggal 5 September2001. Kenyataannya Australia menempati urutan ke 20 an dan tahun lalu hanya menampung sepertiga dari yang di quaotakan.Ketiga, pengingkaran terhadap konvensi hukum laut PBB. Keempat, mengalihkan isue ke negara pacific setelah gagal menyalahkan  Indonesia. Ini terlihat dalam berita The Sydney Morning Herald edisi 3 September 2001 dengan judul pacific-led operation on hold. Ini memberikan kesan sikap keras kepalanya ‘berhasil’.

Keputusan Howard tersebut telah mengundang reaksi negatif dari luar negeri termasuk dari sekjen PBB Kofi Anan. Saya kira dia sudah berhitung bahwa dengan keputusannya tersebut dia bisa menarik simpati pemilih dan memenangkan pemilihan umum nasional (federal election) yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Ternyata politisasi pencari suaka yang dilakukan Howard “berhasil” mendapat dukungan dari rakyat Australia. Hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Herald-ACNielsen menunjukan 77  % rakyat Australia mendukung keputusan itu dan popularitas Howard naik dari 11 % dari 46 % menjadi 57 %.

Howard memanfaatkan perasaan ketakutan berlebihan masyarakat Australia terhadap Asian dan Asian terorrist. Hal ini tergambar dari beberapa pemberitaan media massa Australia. Harian The Age tanggal 4 September memuat berita laporan Don Greenless di Jakarta dibawah judul ” Bin Laden move in on Indonesia” mengulas pernyataan Wakasad Letjen Nana Syahnakri menanggapi informasi dari Amerika tentang kehadiran  Osama Bin Laden di Indonesia.

Menurut pengamatan saya, Keputusan Hoawrd pada kadar tertentu merupakan warna politik dari partainya Howard – Partai Liberal. Basis dukungan partai ini adalah orang Australia asal Eropah yang berada di pedesaan (country-side ) Australia. Partai ini berkoalisi dengan Partai Nasional yang berbasis dukungan petani. Partai One Nation (ONP) nya Pauline Hanson dengan platform serba anti; anti import dari Asia, Anti Investasi Asing anti pajak bagi petani, anti imigrasi Asia, dan anti Aborigin merupakan pecahan dari partainya John Howard. Perasaan ketakutan terhadap Asia ini membuat tersentak dunia dengan hembusan angin rasisme yang kuat dalam pemilu lalu di negara bagian Queensland dengan  memenangkan 23% suara. Pada saat itu ada 10 kursi ONP  di negara bagian Queensland dan dan 3 kursi di Senat (DPR) Federal. Kekuatiran sebagian besar penduduk Australia mungkin beralasan kalau kita amati kondisi ekonomi dan kehidupan di kota besar seperti Sydney, Brisbane, dan Melbourne. Di Sydney saya perkirakan sekitar 25% atau lebih penduduknya berasal dari Asia dan sebagian dari mereka itu kaya-kaya karena kerja kerasnya. Orang Asia di Australia kebanyakan adalah pekerja keras. Lain halnya dengan kondisi di pedesaan Australia yang hampir semua penduduknya homogen penduduk pendatang eropah.

Pada liburan musim panas tahun 1995 saya bersama keluarga berkeliling melihat pedesaan Australia. melewati kota-kota kecil  yang namanya berbau Indonesia seperti Tanah Merah di pedalaman NSW, dan Kalbar di Queensland. Waktu itu saya harus berhenti di satu kota kecil untuk membeli makanan. Saya kaget membaca stiker yang ditempel di muka super market bertuliskan” Be aware of Asian invasion”. yang artinya hati-hati terhadap invasi orang Asia. Saya sendiri sebenarnya tidak percaya bahwa tulisan stiker itu mencerminkan perasaan umum masyarakat Australia tentang pendatang Asia. Secara keseluruhan masyarakat Australia itu toleran dan menghargai orang. Pemahaman saya tentang rasa toleransi dan membantu orang yang memerlukan pertolongan itu tergambar dari kegigihan sebagian masyarakat untuk membantu pengungsi seperti diberitakan oleh The Australian tanggal 1 September 2001 dibawah judul ” Let the refugees Land” yang artinya biarkan mereka mendarat di Australia. Artikel itu memuat penolakan beberapa organisasi dan masyarakat Australia terhadap statement keras  John Howard, ‘ They should not be allowed to land in Australia.’. Ketua komisi Hak-Hak Asasi Manusia Australia Sev Ozdowski meminta agar ibu-ibu hamil, orang tua, anak-anak dan keluarganya dibiarkan mendarat di Australia. The Victorian Council for Civil liberty mengajukan permohonan ke pengadilan untuk hal yang sama.

Berbeda sekali ketika Australia dipimpin oleh partai buruh (sekarang oposisi) dibawah PM Paul Keating yang punya basis dukungan mayoritas warga asal Asia dan penduduk asal eropah di perkotaan. Paul Keating memahami betul perasaan orang Asia. Hubungan baik Australia Asia (Indonesia) nampak dalam pemerintahan Paul Keating bahkan pada suatu saat Paul Keating mengaku memanggil dan menganggap Soeharto sebagai bapaknya. Paul Keating memahami betul pentingnya hubungan dengan Asia (i.e Indonesia) dan kekuatiran sebagian penduduknya. Upayanya menjaga hubungan dengan Indonesia nampak dengan ditanda tanganinya Agreement of Maintaining Security dengan Indonesia yang pada tahun 1999 dibatalkan oleh John Howard.

Untuk memahami persaan umum masyarakat Australia tentang pendatang Asia adalah menarik untuk membaca hasil kajian Chris Anderson dalam ” Post-war Australia : Fears, Foreign Policy, and The Demise of White Australia Policy” (Maret,1998). Menurut Anderson, setidaknya ada 3 faktor yang mempengaruhi pandangan masyarakat  Australia tentang Asia dan imigrasi dari Asia. Pertama, deterioration of militery security akibat berkurangnya proteksi dari Inggris. Kedua, Pressure from Asian Country throwing off the chain of Colonialism, ketakutan akan invasi Asia ini tidak disebutkan secara explisit oleh Anderson, tapi saya meyakini yang dimaksud adalah Indonesia akibat trauma penggabungan Timor Timor 1975 (Indonesian invasion). ketiga, Australia fears of Vulnerability, akibat jauhnya dari Inggris sebagai pelindung ada perasaan takut  akan potensi serangan Asia baik secara ekonomi, politik dan militer.

Ketakutan terhadap dominasi Asia ini bisa dipahami jika kita melihat angka prosentase pendatang yang diterbitkan oleh kementrian imigrasi dan multikultural Australia. Jumlah pendatang Asia yang menjadi penduduk Australia meningkat dari 2,5 % tahun 1959 menjadi 43 % pada tahun 1997, sementara, prosentase pendatang Eropah menurun dari 92.1%  menjadi 30.5 %.

Akhirnya kita berharap bahwa Australia tidak perlu takut dengan Asia (termasuk Indonesia). Orang-orang asia tidak akan pernah campur tangan urusan dalam negeri Australia atau meneruskan rantai penjajahan – chain of Colonialism yang diuangkapkan oleh Anderson. Campur tangan Australia yang diluar proporsi terhadap masalah Timor Timur membuktikan hal yang sebaliknya.

Penulis adalah  President of the Indonesian Student Association University of New England New South Wales Australia 1997 – 1998.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *