Oleh
Agusfian Wahab*) & Iwan Harsono**)
Selama 3 hari ini dari tanggal 16 s/d 19 April para pengemban amanah di propinsi ini para pengemban amanah di Propinsi ini termasuk Anggota DPR & DPD asal NTB, Bappenas, Depdagri duduk bersama di Lombok Raya bermusyawarah untuk merumuskan kesepakatan agenda agenda penting pembangunan NTB kedepan. acara itu dikenal dengan MUSRENBANG. 90 hari yang lalu di tempat yang sama dan dengan peserta yang lebih kurang lebih sama juga dilakukan MUSRENBANG. Bedanya, 90 hari yang lalu MUSRENBANG lebih general yaitu membahas “Big Picture” mau kemana Provinsi NTB 20 tahun (2007-2017) kedepan? Sedangkan yang sekarang ini lebih rinci yaitu 1 tahun, Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) tahun 2008,
Tulisan ini bukan tulisan serius karena munculnya juga mendadak waktu kami peserta MUSRENBANG berdiskusi dalam acara “Coffee Break” setelah acara Pembukaan tadi malam.Teman-teman bertanya ada kesan MUSRENBANG ini formalitas saja, seremonial saja, Selama 390 hari ini dua kali kita “Kongkow-Kongkow disini” dan seterusnya. Akhirnya kami berdua mencoba untuk mengupas makna MUSRENBANG itu sehingga betul betul dijiwai dan serius dilaksanakan dan dipahami oleh kita semua.
MAKNA MUSRENBANG DALAM UU No. 25/2004
MUSRENBANG itu kependekan dari Musyawarah Rencana Pembangunan, Dalam UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional didefinisikan sebagai forum strategis yang pada dasarnya adalah sebuah proses komunikatif yang melibatkan interaksi antara stakholders. Dalam bahasa hukum-ekonomi merupakan kontrak sosial antara birokrasi dan masyarakat yang diwakili untuk menyepakati untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan.
MUSRENBANG ini mempunyai tujuan yang sangat luas, yaitu untuk (1) mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan; (2) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, antar-ruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;(3) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan (5) menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan
Makna tersebut sebenarnya sangat mendalam, mengandung dasar-dasar falsafah, bagaimana seharusnya sistem perencanaan pembangunan menghasilkan rencana publik.
Yang menonjol dalam pelaksanaan MUSRENBANG yang merujuk ke UU 25/2004 itu adalah legitimasi eksistensi Kementerian Perencanaan Pembangunan/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Dengan demikian kini wacananya berubah menjadi, bagaimana badan-badan tersebut dapat berfungsi dan berperan optimal dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional maupun daerah sesuai dengan dinamika perkembangan sosio-ekonomi dan politik di masyarakat.
Seperti juga dalam praktik perencanaan di masa yang lalu, Undang-Undang tersebut sangat menonjolkan perencanaan sebagai produk (dokumen) yaitu Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) pada MUSRENBANG 90 hari yang lalu dan RKPD pada MUSRENBANG yang sekarang ini.
Tidak dapat dimungkiri bahwa produk merupakan hal yang sangat penting, namun hal yang tidak dapat diabaikan adalah kualitas proses dalam mencapai dokumen tersebut. Hal terakhir inilah yang hampir-hampir tidak disentuh dalam UU No 25/2004, hanya ditegaskan tentang keharusan adanya kelembagaan Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) dalam penyusunan rencana.
Makna Musrenbang tidak ditegaskan dengan jelas, padahal di sinilah sebenarnya letak kunci bagi paradigma baru perencanaan. Hal tersebut mencerminkan masih adanya ‘jurang’ (gap) antara tujuan UU 25/2004 dengan kandungannya, dimana isi kurang mencerminkan jiwa serta semangatnya.
MUSRENBANG SEBAGAI PROSES TIMBAL BALIK.
Pada dasarnya usulan perencanaan publik NTB yang sekarang dirumuskan dalam MUSRENBANG adalah suatu proses interaksi timbal balik antara lembaga perencanaan (dan perencana) dengan publik yang sangat pluralistik, baik sebagai subjek ataupun objek perencanaan.
Di dalam proses prumusan dan debat selama 3 hari tersebut hampir dapat dipastikan terkandung unsur-unsur kepentingan (interest) yang mungkin bertentangan (conflicting) satu dengan lainnya, baik politik, ekonomi maupun lainnya. Dalam kondisi yang sangat sarat dengan perubahan interaksi inipun harus bersifat dinamik dan berkelanjutan.
Makna wacana top-down dan bottom-up adalah sesuatu yang berpasangan, karena satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Memang di masa yang lalu unsur top-down sangat kental, sehingga tidak ada ruang bagi masyarakat selaku subjek maupun objek pembangunan untuk beraspirasi atau berimajinasi, karena birokrasi sangat menentukan.
Sebaliknya, dewasa banyak perencanaan dan pelaksanaan kegiatan masyarakat yang dilakukan sendiri-sendiri bahkan ditunjang oleh berbagai donor baik luar maupun dalam negeri, tidak terkait satu dengan lainnya, bahkan saling bertentangan, yang pada gilirannya bisa menuju situasi yang kacau (chaotic).
Ini memang suatu keadaan yang perlu dipandang sebagai suatu dinamika atau konteks di mana perencanaan publik berada. Dalam kaitan ini tuntutan utama adalah lembaga-lembaga formal (birokrasi) perencanan seperti Bappenas maupun Bappeda harus cukup tanggap, mampu menyesuaikan diri dan mengakui bahwa dinamika tersebut harus diitegrasikan dalam proses perencanaan.
Tentu saja hal ini akan berdampak pada perubahan yang mendasar dalam pola pikir (mindset) dan pola tindak lembaga-lembaga perencanaan tersebut, yang dalam istilah popular dikenal sebagai perencanaan partisipatif.
Hal inilah yang seharusnya menjadi makna ‘Musrenbang’ (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) seperti yag dimaksud dengan UU 25/2004 tersebut. Perlu dicatat bahwa pada masa Pemerintahan Presiden Suharta di Republik mimpi pun seperti kita saksikan di Mtero TV News.com telah dikenal istilah tersebut melalui Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Daerah (P5D) yang dikelola oleh Departemen Dalam Negeri (Permendagri No 9 Tahun 1982), dengan ketentuan teknis yang sangat rinci.
Falsafahnya adalah menjaring aspirasi masyarakat, mulai dari tingkat desa, kecamatan, untuk dibawa ke tingkat pusat melalui serangkaian forum-forum pertemuan dan konsultasi.
Dengan kata lain P5D di Republik mimpi hanyalah suatu bagian dari perangkat birokrasi untuk legitimasi perencanaan. Seyogyanya ‘Musrenbang’ menurut UU 25/2004 tidak seperti di Republik Mimpi lagi, namun benar-benar menjadi arena komunikasi timbal balik antara lembaga perencanaan dengan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menetapkan keputusan kolektif dengan debat yang serius tapi jangan sampai saling lempar kursi seperti yang terjadi di salah satu kabupaten di Indonesia Baru-baru ini. Prosesnya memang panjang dan melelahkan, namun itulah tantangan untuk mewujudkan perencanaan yang lebih partisipatif.
Catatan Penting
Berbeda dengan Republik Mimpi Kepemimpinan Presiden Suharta, pada masyarakat di negara yang telah berkembang, pengertian perencanaan publik sudah pasti partisipatif, karena kalau tidak hal tersebut bukanlah perencanaan publik.
Dalam masyarakat yang belum sepenuhnya menyadari atau menggunakan hak, kewajiban dan kepeduliannya dalam pembangunan, perencanaan partisipatif menghadapi berbagai hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, identifikasi siapa pemangku kepentingan perencanaan tersebut, yang tentunya sangat berbeda pada tingkat (level) perencanaan yang berbeda. Pada tingkat Propinsi NTB misalnya, adalah sesuatu yang tidak mungkin untuk mengundang seluruh kelompok masyarakat se-NTB untuk berbondong-bondong ke Hotel Lombok Raya. Apalagi Dr. Slamet Seno Aji yang mewakili Kepala Bappenas menekankan perlunya efisiensi.
Kedua, apa peran kewajiban dan haknya. Hal tersebut akan berujung pada pertanyaan tentang keterwakilan masyarakat (representativeness). Tanpa ada sesuatu pedoman akan hal-hal tersebut, kemungkinan ‘perencanaan partisipatif’ malah akan menjadi masalah baru ketimbang menjadi mekanisme perencanaan yang lebih demokratis dan terdesentralisasi.
Ketiga, bagaimana usulan-usulan program pembanguman dari tingkat bawah (grass roots) dapat secara konsisten diusung dan dikawal ke tingkat yang lebih atas. Diharapkan dalam penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai tidak lanjut UU No 25/ 2004, hal-hal tersebut menjadi bahan pertimbangan utama.
Dalam kondisi seperti itu, tampaknya kini lembaga perencanaan seperti Bappenas dan Bappeda, di samping melaksanakan fungsinya sebagai lembaga yang menyiapkan rencana-rencana pembangunan seperti yang diamanatkan oleh UU 25/ 2004, juga harus melakukan upaya pengembangan kelembagaan agar mampu melaksanakan perencanaan yang partisipatif, serta sekaligus menumbuhkan budaya perencanaan dengan pelibatan masyarakat secara lebih intensif.
Tentu saja hal itu tidak mungkin dilaksanakan oleh Bappenas serta Bappeda secara sendiri. Peran masyarakat (LSM), perguruan tinggi, asosiasi-asosiasi profesi dan lainnya sangat diperlukan, namun inisiasi lembaga perencanaan dalam melakukan ‘reformasi’ perencanaan sesuai dengan dinamika sosial-ekonomi dan politik di masyarakat dan kondisi global sangat penting adanya.
Merekalah yang memiliki legitimasi, kemampuan teknis dan sumberdaya yang mungkin untuk memulai hal tersebut. Inilah salah satu ciri perbedaan utama fungsi lembaga perencanaan publik di Negara Republik Mimpi Presiden Suharta dan dengan yang kita lakukan saat kini.
Kalau kita tidak serius memahami betul makna MUSRENBANG dan tidak melaksanakannya dengan serius maka kita tidak ada bedanya dengan MUSRENBANG yang dilaksanakan oleh Republik mimpi dalam kepemimpinan Presiden Suharta yang memandang perencanaan sebagai dokumen dan Blueprint yang disusun secara mekanistik, yang seringkali merupakan formalitas (keharusan memiliki), dan hanya merupakan hiasan meja.
Akhirnya, Tidak usah serius memikirkan tulisan tidak serius ini yang penting nawaitu kita adalah untuk kepentingan 4,3 juta masyrakat NTB. Seperti kata Prof. Dr. M.Ichsan MS, waktu kita diskusi “Coffee Break” tadi malam ” TIDAK ADA YANG TIDAK BERMAKNA SEPANJANG KITA MAMPU DAN SERIUS MELAKSANAKAN DI LAPANGAN”
Penulis adalah :
*)Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Mataram. Email: Agusfyanwahab_unram@yahoo.com
**)Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Mataram., Alumni School of Economics University of New England. Email:iwanharsono_unram@yahoo.com
Leave a Reply