Iwan Harsono*)
Dimuat Koran Lombok Post 4 Maret 2005
“Lucunya, Pertamina tidak mempunyai metodologi yang jelas dalam perhitungan harga pokok BBM” Komentar ketua BPK Anwar Nasution usai pertemuan dengar pendapat dengan pimpinan MPR di senayan 2 Maret 2005. Bayangkan, mantan deputy senior Gubernur Bank Indonesia (BI) yang sekarang jagi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia dan bergelar Profesor Ekonomi tidak mendapatkan informasi yang jelas tentang perhitungan harga pokok BBM apa lagi masyarakat awam.
Tulisan ini mencoba memaparkan secara sederhana perhitungan harga pokok BBM dalam kaitan dengan subsidi bensin (premium). Saya gunakan kata bensin karena lebih familiar untuk rakyat pada umumnya.
Menghitung Harga Pokok.
Untuk mendapatkan bensin maka diperlukan minyak mentah yang disedot dari perut bumi Indonesia dengan biaya sedot ketas permukaan bumi, biaya pengolahan jadi bensin, ditambah dengan biaya angkut ke SPBU. Menurut Kwik Kian Gie (Republika 24/2/2005) -Total biaya untuk mendapatkan 1 barel bensin ( 1 barel=159 liter bensin) adalah $ 10,-. Jadi ongkos memproduksi bensin perliter adalah 10 x Rp8.900 = Rp 89.000/159liter = Rp 585/liter (Asumsi APBN 2005 $1=Rp 8900). Dengan demikian total biaya bensin dari ongkos menyedot, mengolah dan mengantarkanya ke SPBU adalah Rp 585/liter. Selanjutnya minyak itu dijual ke rakyat Rp 1810/liter (harga sebelum 1 maret 2005) maka keuntungan pemerintah Rp 1225/liter bensin.
Pertamina menyedot 1.125.000 barel minyak dari bumi pertiwi setiap harinya. Penyedotan ini 92% nya dilakukan dengan kontrak bagi hasil dengan pihak asing dengan pembagian keuntungan 85% untuk pemerintah dan 15% untuk pihak asing.
Jumlah 85% itu dikurangi lagi dengan biaya yang meliputi 17 Komponen (Kompas 26/2/2005 hal 38): seperti prorata pertamina, prorata KPS Inkind Pertamina, Inkind KPS, bunga, depresiasi dll maka anggap saja yang diperoleh tinggal 75% dikalikan dengan 1.125.000 barel/hari maka 843.750 barel. Jika dijadikan dalam liter maka dikalikan 159 liter hasilnya 134.156.250 liter dikalikan 365 hari dalam setahun maka diperoleh 48.967.031.250 liter (49.000.000.000 liter bensin).
Minyak itu dijual ke rakyat Indonesia dengan Rp 1.810 dikalikan dengan Rp 1.225 (keuntungan pemerintah per liter bensin setelah dikurangi biaya diatas) maka diperoleh uang fresh Rp 88.630.326.562.500. Jadi keuntungan bersih pemerintah menjual minyak milik rakyat ke rakyat adalah 88,6 (delapan puluh delapan koma 6 triliun lebih).
Karena kebutuhan bensin rakyat Indonesia per tahun 60.000.000.000 liter maka ada kekurangan yang harus di impor sebesar 11.032.968.750 liter (60.000.000.000–48.967.031.250). Minyak impor ini harus dibayar dengan harga dunia $ 51/barel (harga minyak mentah pasar dunia) dengan kurs yang sama sesuai asumsi APBN 2005 maka diperoleh harga yang harus dibayar 51 x Rp 8.900 dibagi 159 = Rp 2854,71 dibulatkan Rp 2855 + Rp 585 (biaya pengolahan) = Rp 3.440/liter. Jadi perkiraan biaya yang diperlukan untuk mengimpor minyak adalah 11.032.968.750 x Rp 3.440 = Rp 37.953.412.500.000.
Jadi uang masuk dari menjual minyak milik rakyat ke rakyat Rp 88.630.326.562.500 dikurangi dengan pembelian minyak di luar negeri untuk memenuhi kekurangan minyak Rp 37.953.412.500.000. = Rp 50.676.914.062.500. Jadi setelah memenuhi kebutuhan rakyat menyediakan bensin pemerintah masih punya pemasukan (untung) sebesar lebih dari 50 triliun pertahunnya.
Kenapa dikatakan subsidi?
Jadi dengan harga Rp 1.810 saja (sebelum dinaikan) pemerintah dapat pemasukan 50 triliun/tahun. Dengan demikian, kalau pemerintah menakut-nakuti rakyatnya dengan mangatakan bahwa “Kalau harga bensin tidak dinaikan maka pemerintah harus mengeluarkan uang subsidi minimal Rp 70 triliun pertahun seperti tahun 2004 atau lebih besar lagi pada tahun 2005 ” jelas kurang dipahami oleh orang awam. Sekali lagi, yang betul adalah justru pemerintah mendapatkan pemasukan 50 triliun pertahun dari menjual minyak yang disedot dari perut bumi pertiwi yang menurut amanat UUD 45 pasal 33 digunakan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Kenapa dikatakan pemerintah memberi subsidi atau merasa nombok?, pemerintah sebenarnya merasa jengkel karena tidak dapat menjual bensin milik rakyat kepada rakyatnya dengan harga dunia Rp 3.440/liter karena adanya kewajiban (pasal 33 UUD 45) memenuhi kebutuhan rakyat maka dijual kepada rakyat “hanya” Rp 1.810/liter. Kata pemerintah, sialan betul, kalau dijual dengan harga dunia akan diperoleh 167 triliun. Jadi subsidi yang dimaksud adalah kehilangan kesempatan karena menjual dengan harga murah kepada rakyat yang notabene pemilik minyak tersebut.
Perhitungan harga yang dipaparkan dalam tulisan ini betul-betul disederhanakan adalah ilustrasi untuk menggambarkan secara jelas (mudah-mudahan) dan merespon Komentar Anwar Nasution & A.Ali Rafsanjani yang termuat di Lombok Post. Angka-angka yang digunakan tidak eksak tapi dari sumber resmi, mendekati kondisi yang sebenarnya, dengan metode perhitungan sederhana untuk dimengerti oleh rakyat kebanyakan.
Esensi & harapan
Esensi Dari tulisan ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa dengan tidak menaikan harga bensin maka pemerintah masih memiliki kelebihan uang tunai yang bersumber dari bensin yang “bisa & biasanya” sebagian digunakan untuk dikorupsi seperti skandal persekongkolan penjualan tanker PERTAMINA hingga $20 hingga $ 56 juta atau setara dengan 498,4 miliar atau untuk “subsidi” rakyat miskin yang selama ini masih dikorupsi juga. Data resmi menunjukan bahwa Subsidi ke rakyat miskin dengan pola selama ini (JPS) mengalami kebocoran minimal 40% dan dampaknya tak jelas.
Pemerintah harus terbuka dan jangan berlindung dibalik Subsidi yang terjadi karena menjual minyak milik rakyat kepada rakyat dengan harga dibawah harga pasar dunia sehingga pemerintah merasa kehilangan potensi keuntungan kalau dijual ke pasar dunia. Padahal dengan menjual dengan harga Rp 1.810 pemerintah masih untung Rp 1.225 per liter atau secara total memperoleh pemasukan lebih dari 50 triliun per tahun.
Akhirnya kita sama sama berharap bahwa pemerintah perlu memberikan penjelasan tentang landasan falsafah yang jangankan bagi orang awam aneh dan lucu? Bahkan oleh ekonom birokrat tekhnokrat sebesar Prof. Dr. Anwar Nasution pun dianggap lucu. Kenapa “ Subsidi Real” penggelap pajak dan pencuri hasil pajak yang jauh lebih besar jumlahnya tidak dicabut?. Kata kuncinya adalah, rakyat akan “rela” menerima dan mendukung kebijakan pemerintah sepanjang itu dilakukan secara terbuka, memihak rakyat banyak & tidak dikorupsi.
__________
*) Penulis adalah Lektor dalam Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Mataram. Alumni School of Economics the University of New England Australia. Email : iwanharsono@unram.ac.id
Leave a Reply