DR Iwan Harsono

Ekonomi Puasa dan Urgensi Stabilisasi Harga

·

·

DIMUAT DI LOMBOK POST 15 JULI 2013

Oleh Iwan HARSONO *)

Lombok Post 10 Juli 2013 memuat headline “SEMBAKO MAKIN MENCEKIK”  dengan rincian kenaikan harga cabe rawit, bawang merah, tomat diatas 100 porsen dan beras 40%. Berita semacam ini sudah menjadi langganan tahunan di seluruh Indonesia setiap bulan ramadhan. Kenaikan harga tahun 2013 ini cukup meresahkan dibanding tahun-tahun sebelumnya, kalau dianalogikan seperti gempa terjadi beberapa kali gempa susulan. Diawali dengan gempa BBM terjadi 3 kali gempa: pertama, saat wacana rencana naik ramai, harga sudah naik. Kedua, saat gonjang ganjing sidang paripurna harga sudah naik dan ketiga, saat naik harga BBM maka harga barang naik lagi. Ditambah lagi gempa/kenaikan progresif TDL 4,3% per triwulan, mencapai puncaknya dengan kenaikan harga sembako ramadhan yang sangat fantastik seperti berita Lombok Post diatas. Ini benar-benar “menampar” masyarakat secara ekonomi dalam suasana pengeluaran  tahun ajaran baru.

 Suasana “penderitaan” rakyat miskin salah satunya bersumber dari kelalaian pemerintah yang “gagal” memastikan stock  kebutuhan sembako yang cukup untuk ramadhan dan lebaran dan menjamin stabilitas harga. Persediaan stock yang cukup pada bulan ramadan hanya ada pada berita TV & Koran dan tidak ada dipasar. Faktanya tanggal 9 Juli 2013 di hari pertama  puasa  misalnya secara nasional terjadi kenaikan harga sembako seperti daging sapi di menjadi atas Rp 100 ribu dan daging ayam menjadi Rp 42.000,- per kilogram. Adegan berikutnya berita di TV Hatta Rajasa menyalahkan Menteri Pertanian Suswono  karena lambannya rekomendasi dari Mentan, harga daging melonjak.

Menurut Hatta, kenaikan harga daging sapi bukan karena Bulog tidak mampu menyediakan stok seperti yang dijanjikan. Tapi, justru karena Mentan lamban dalam aksinya mengeluarkan rekomendasi impor. Ketua Kelompok Komisi Pertanian Fraksi PKS, Habib Nabiel Almusawa membalas dengan menilai Menko Perekonomian Hatta Rajasa sudah salah alamat melempar tanggungjawab kenaikan harga daging sapi kepada Menteri Pertanian. 

Saling lempar tanggung jawab ini indikasi lemahnya koordinasi pemerintah ditambah lagi dengan Budaya Konsumtif Masyarakat yang selanjutnya dimanfaatkan para spekulan untuk menaikkan harga seenaknya menjadi faktor pemicu inflasi. Tulisan ini mencoba melihat Ramadhan dalam konteks Ekonomi, Budaya Konsumtif Bulan Puasa, dan Urgensinya Program Stabilisasi Harga Sembako dalam jangka Panjang dan Permanen.

Ekonomi & Budaya Konsumtif Bulan Puasa.

Pada waktu bulan ramadan, ketika umat islam tidak melakukan makan siang karena berpuasa, seharusnya secara logika akan terjadi penurunan permintaan terhadap bahan makanan. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya, permintaan justru meningkat. Dengan kondisi supply yang  stabil seharusnya harga barang akan turun, tetapi yang terjadi justru sebaliknya, harga malah melejit. Orang menyebutnya anomali ramadan.

Kenaikan permintaan ini lebih dikarenakan ramadan dijadikan bulan untuk berkomsumsi berlebihan. Suasana khusuk yang mampu menahan lapar dan dahaga itu dialihkan waktunya pada waktu berbuka puasa tiba. Saat puasa yang seharusnya seseorang itu mampu menahan dirinya hanya menjadi perubahan jam makan saja. Secara ekonomi, kecenderungan konsumtif tersebut tentu mempunyai sisi positif dan negatif. Sisi positifnya, setidak-tidaknya akan mendorong sektor riel bergerak, pasar-pasar menjadi hidup, penjualan meningkat. Sisi negatifnya, budaya konsumtif ini kemudian yang menyebabkan kita menimbun makanan untuk kita habiskan pada saat berbuka puasa. Akibatnya jelas inflasi.  Puasa kita diukur dari keefektifan menunda jam makan. Perilaku Puasa ramadaan kita sama sekali tidak mempraktikan gaya hidup sederhana apalagi sampai bisa merasakan penderitaan orang miskin yang karena keterbatasannya tidak tahu kapan dia makan dan dengan lauk apa dia makan?

Belanja berlebihan dibulan puasa adalah indikasi rendahnya pemahaman kita tentang makna puasa. Rasa empati kita terhadap penderitaan orang miskin kurang karena kita kurang memahami apa itu miskin. Penjelasan paling gamblang tentang kemiskinan adalah: Kemiskinan itu ketika ingin sekolah tidak ada biaya untuk sekolah, Ketika ingin beli baju dan sepatu tapi tidak punya uang untuk membeli, ketika sakit tidak punya uang untuk membeli obat. Miskin itu dianalogikan, ketika terikat diterik matahari dan dibawah kaki adalah sarang semut dan tidak bisa berbuat apapun kecuali menerimanya sebagai fakta. Penjelasan ini jauh lebih bisa dipahami untuk merasakan tentang kaitan antara kemiskinan dan puasa. Jumlah saudara kita yang terikat di terik matahari dan dibawah kakinya ada sarang semut dan tidak bisa berbuat apa apa di propinsi  NTB ini per Maret 2013 sebanyak 830 ribu orang dengan pendapatan dibawah Rp 271.626,- Perbulan Per orang. Kata pemerintah, kalau seseorang punya uang/ pendapatan diatas Rp  271.626,- orang itu tidak miskin – sangat tidak realistis. Dan itu diakui sendiri oleh pemerintah dengan memperikan BALSM untuk sekitar 2 juta penduduk NTB.

Spekulan &  Ritual Operasi Pasar.

Akar masalah kenaikan harga bulan ramadhan yang terjadi berulang selama dua puluh tahun terakhir juga karena ekonomi kita menjadi sangat liberal bahkan lebih liberal dari Amerika yang punya UU Pengendalian Harga. Di Indonesia, harga dilepas ke mekanisme pasar secara liberal. Sehingga semua dikuasai para spekulan dan kapitalis untuk menentukan harga. Untuk mengantisipasi lonjakan harga, biasanya pemerintah melakukan Ritual Operasi Pasar (OP). Pemerintah masih percaya dengan inspeksi mendadak ke pasar & tempat-tempat yang diduga menimbun stock bisa menstabilkan harga padahal sepulang inspeksi harga menjadi liar lagi.

 Kita tahu bahwa struktur pasar di Indonesia sudah sangat terbuka/liberal. Kalau pemerintah peduli pada kenaikan harga-harga, pemerintah harus mengubah struktur pasar ini. Seharusnya Indonesia belajar dari Malaysia, Venezuala, China, Kenya, Thailand, Singapore bahkan Amerika. Di negara itu selalu ada intervensi pasar oleh pemerintah sehingga harga-harga kebutuhan pokok tidak melonjak naik. Sementara di Indonesia hanya ditanggulangi dengan solusi musiman seperti kebijakan import yang penuh intrik korupsi & Ritual OP.

Pemerintah Indonesia melalui Bulog dan Menteri Perdagangan hanya mengatur masalah stok. Kalau Bulog dan Menteri perdagangan malaysia bisa intervensi harga, dan diberikan kewenangan mengatur harga. Pemerintah bukan hanya tidak kreatif tapi juga tidak serius. Sebagai contoh, Malaysia dan Venezuela memiliki UU Pengendali Harga dan UU Anti Mengambil Keuntungan Berlebihan untuk kebutuhan pokok. Melalui UU itu pihak berkuasa boleh bertindak terhadap pekulan yang mengambil keuntungan secara berlebihan. Pemerintah berkewajiban melakukan kontrol pasar dan menyiapkan anggarannya. Setiap harga khususnya sembako sudah ditentukan. Jadi pelaku usaha tidak akan berani manaikkan harga seenaknya. Bila ada yang melanggar diberikan sanksi yang sesuai. Jika Malaysia kreatif dengan UU yang memperhatikan hajat hidup masyarakatnya, harusnya kita juga bisa seperti itu.

Urgensi Program Stabilitas Harga

Inflasi berakibat merosotnya pendapatan riil msyarakat, memperlebar kesenjangan distribusi pendapatan diantara anggotaanggota masyarakat, meningkatkan kemiskinan dan bahkan kejahatan di msyarakat. Pemerintah tidak bisa berkata ‘persedian barang kebutuhan cukup’ tapi perlu memastikan ketersedian berbagai barang kebutuhan pokok masyarakat itu terdistribusi dengan lancar, cepat, dan tepat. Sebab sistem dan mekanisme distribusi sering amburadul sehingga menyulitkan dalam upaya pengendalian harga. Penataan sistem dan mekanisme distribusi sangat penting dalam mendukung ketersediaan barang kebutuhan masyarakat dan stabilisasi harga.Terlebih lagi di daerah-daerah. Oleh karean itu pemerintah daerah mesti berperan aktif dalam menjaga stabilitas harga pasar dan mekanisme distribusinya. 

Selanjutnya pemerintah bersama DPR harus segera merancang mekanisme stabilitas harga permanen dengan membuat regulasi melalui UU Pengendalian Harga Sembako, Perlu dibentuk Manajemen Stock sehingga kalau ada kekurangan stock segera di lepas. Harus ada  jelas pengendalian harga di lapangan yang dilakukan oleh Pemerintah daerah melalui Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID). Hingga saat ini, TPID telah terbentuk di seluruh provinsi. Sementara pada tingkat kabupaten/kota, TPID telah terbentuk di 53 kota dari 66 kota yang merupakan basis penghitungan inflasi oleh BPS termasuk Kota Bima dan Kota Mataram. Penegakan hukum terhadap Badan Hukum atau Spekulan yang menimbun barang dan mengambil keuntungan yang berlebihan. Tentunya pada saat yang bersamaan masyarakat harus merubah budaya konsumtifnya.

Ekonomi puasa  merupakan ceremony tahunan, baik langsung maupun tidak langsung memberi dampak luar biasa bagi roda ekonomi domestik dan kehidupan ekonomi mayoritas rakyat. Oleh karena itu pemerintah, pelaku usaha & masyarakat harus bersinergi untuk menciptakan ekonomi yang dilandasi etika dan moral sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Dalam makna esensialnya, puasa hadir dengan tujuan mendidik manusia untuk selalu menghadirkan “Tuhan” setiap dalam gerak-gerik hidupnya. Pada konteks itulah takwa menjadi “pakaian” yang selalu dibawa kemanapun oleh seorang hamba dalam beraktivitas (ekonomi).

*) DR Iwan HARSONO, SE.,M.Ec  Dosen Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Mataram Alumni School Of Economics University of New England dapat dihubungi Email: iwanharsono@unram.ac.id.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *