Oleh : Iwan Harsono*)
Dimuat di Koran Lombok Post 9 Februari 2002
Menurut kriteria Bank Dunia (World Bank) jumlah penduduk miskin di Indonesia pada
tahun 2001 mencapai 24% dengan angka Indek Pembangunan Manusia (IPM) 68 dan
menempati urutan ke 102 di dunia. Jumlah orang miskin meningkat 1% dibandingkan
dengan tahun sebelumnya. Indonesia sudah masuk ke dalam kategori negara miskin
dengan pendapatan per kapita sekitar Rp 700.000 per kapita/tahun (batasan World Bank
adalah Rp 800.000 per kapita/tahun).
Kondisi sebagian besar masyarakat betul-betul dalam kesulitan. untuk mencukupi
kebutuhan hidup yang paling dasar saja sudah cukup repot. Harga-harga sudah
melambung tinggi tidak terjangkau, belum lagi tingkat inflasi yang diperkirakan akan
meningkat tinggi akibat kenaikan, TDL, telepon, pajak pertambahan nilai, tarif angkutan,
dan kenaikan komoditas lainnya. Masyarakat seolah dibuat menjadi semakin tak berdaya
dan bertambah miskin saja.
Mengamati angka-angka diatas dan kondisi empiris di lapangan sebenarnya negara ini
masih berada didalam himpitan krisis multi-dimensi berkepanjangan. Ditengah kondisi
tersebut pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak
(BBM). Tentu saja, kebijakan semacam ini sangat tidak populer. Tulisan ini difokuskan
untuk memahami dampak (ekonomi) kenaikan tersebut dan agenda apa yang paling
penting dilakukan pasca keputusan kenaikan BBM 17 Januari 2002 tersebut.
Dampak Kenaikan BBM di NTB
Kenaikan harga BBM ini merupakan keputusan sulit yang diambil pemerintah. Persoalan
lama yang merupakan dilema bagi pemerintah antara kondisi riil masyarakat yang
perekonomiannya semakin tidak mampu mengatasi kebutuhan hidup sehari-hari dengan
pendanaan untuk menutupi defisit berjalan APBN. Terkait dengan pengurangan subsidi
BBM pemerintah memberikan dana kompensisi yang ditujukan untuk membantu
masyarakat miskin. Golongan menengah ke atas—yang banyak menggunakan premium
dan solar—justru menikmati subsidi yang sebenarnya dimaksudkan untuk membantu
kelompok masyarakat yang miskin. Keluarga Masyarakat miskin di kota-kota yang menggunakan minyak tanah adalah satu-satunya yang menikmati subsidi BBM. Masyarakat miskin di pedesaan, atau pedesaan, hampir tidak menikmati subsidi BBM karena selama ini mereka hanya menggunakan kayu bakar atau sumber energi non-minyak lainnya.Padahal, mereka sangat banyak.
Hasil perhitungan ekonomi (simulasi) menggunakan data nasional dengan metode CGE
(Computable General Equilibrium Model) menunjukkan jika pemerintah menaikan harga
BBM sebesar 30 persen maka dampaknya terhadap indikator makro ekonomi adalah
sebagai berikut : kesejahteraan masyarakat sebesar 0,71 persen, menurunkan tingkat upah sebesar 0,49 persen dan menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,35 persen.
Indikator-indikator makro ekonomi yang kena imbas negatif akibat kenaikan harga BBM
adalah tingkat konsumsi riil yang merosot 0,49 persen, kemerosotan ekspor 0,18 persen,
kemerosotan daya saing sebesar 0,18 persen dan inflasi 0,8 persen. Angka inflasi ini akan
semakin tinggi kalau diperhitungkan efek pengganda (multiplier effect) dari kenaikan
BBM tersebut dan inilah dalam kenyataanya terjadi masyarakat.
Dalam skala regional, efek multiplier ini akan semakin terasa di Propinsi NTB karena
inflasi umum di NTB tahun 2001 mencapai 14,76 persen dengan inflasi tertinggi di sektor
makanan (17,51 persen), Kesehatan (15,78 %), Perumahan (15,68 %), Transportasi &
Komunikasi (14,58 %) serta pendidikan, rekreasi dan olah raga ( 9,84%). Inflasi di
sektor-sektor utama yang langsung terkait dengan hajat hidup rakyat miskin melewati
angka dua digit. Angka-angka diatas telah melewati ambang psikologis. Dengan
menggunakan metode CGE (Computable General Equilibrium Model) dan
memperhitungkan effek pengganda (multiplier effect) diperkirakan laju inflasi dalam
tahun 2002 (pasca kenaikan BBM 17 Januari 2002) akan mendekati angka 20 %
(diungkapkan penulis dalam wawancara dengan wartawan dan dimuat di harian Lombok
Post 20 Januari 2002).
Angka perkiraan inflasi 20 % diatas bagi peningkatan kesejahteraan 3.805.537 penduduk
yang bermukim di NTB ?. Sedikit saja kekeliruan dalam menyalurkan dana kompensasi
BBM akan memperburuk kondisi sekitar 1 juta penduduk miskin di NTB, memperkecil
kemnungkinan penempatan sekitar 29.510 pencari kerja yang terdaftar di Kanwil
Depnaker NTB serta mempersulit pemerintah dalam mencapai target pertumbuhan
ekonomi (kesejahteraan masyarakat) 6 % yang dicanangkan oleh pemerintah Daerah?.
Saya pikir angka pertumbuhan tersebut seperti yang diungkapkan oleh nanang samodra –
Ketua Bappeda NTB- dalam Lombok post 154 Januari 2002 terlalu optimis walaupun
mengandalkan PT.Newmont. Angka target pertumbuhan ekonomi nasionalpun hanya
3,5% dan itupun disertai dengan banyak asumsi.
Agenda Terpenting
Dengan pertimbangan diatas dan mengurangi dampak kenaikan tersebut pemerintah
mengeluarkan dana konpensasi sebesar Rp 2,85 triliun dibagi dalam beberapa program.
Program beras untuk masyarakat miskin yang berada di bawah tanggung jawab Bulog
senilai Rp500 miliar. Program bantuan pelayanan kesehatan dan panti sosial di bawah
tanggung jawab Depkes dan Depsos senilai Rp570 miliar, Program bantuan pendidikan
penanggung jawab dibawah Depdiknas dan Depag senilai Rp1,28 triliun.Program
peningkatan pelayanan transportasi dengan tanggung jawab di bawah Dephub senilai
Rp190 miliar. Program penyediaan air bersih di bawah tanggung jawab Depkimpraswil
senilai Rp130 miliar, Program pengembangan usaha mikro dan usaha kecil lewat
penyediaan dana bergulir di bawah tanggung jawab Mennegkop dan UKM senilai Rp90
miliar. Program pemberdayaan masyarakat pesisir dengan penanggung jawab
Departemen Kelautan dan Perikanan senilai Rp90 miliar.
Dari jumlah dana kompensasi yang disebutkan di atas, sebagian besar dikirim ke daerah kita. Terlepas dari jumlah yang akan dikirim ke NTB, masalahnya sekarang adalah dana kompensasi biasanya mengalami kerawanan-kerawanan saat didistribusikan dan dikirimkan. Selain itu, Indonesia masih termasuk dalam daftar negara paling korup di dunia. Oleh karena itu, setiap kali ada kebijakan yang bertujuan untuk membantu masyarakat miskin, ada kekhawatiran tentang fenomena memproyeksikan kemiskinan, yang berarti memanfaatkan situasi dan kondisi saat ini untuk mengambil keuntungan. Memasuki euforia kebebasan reformasi yang dikenal sebagai otonomi daerah saat ini, semuanya menjadi kurang menyenangkan, dan bahkan korupsi semakin berani. hilangnya dana, seperti yang terjadi pada dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan Dana Alokasi Umum (DAU), yang mencapai 40 persen. Oleh sebab itu, agenda terpenting saat ini adalah mengurangi kemungkinan terjadinya kebocoran seperti pada dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan Dana Alokasi Umum (DAU) yang mencapai 40 %.
Sekitar sat juta penduduk miskin di NTB yang sangat membutuhkan harus benar-benar menerima kompensasi, meminimalkan kebocoran, dan mengurangi biaya administrasi.
Melakukan optimalisasi tiga fungsi obyektif yang disebutkan di atas bukanlah tugas yang mudah. Misalnya, jika kita ingin meminimalkan kebocoran, kita harus membayar biaya administrasi yang besar untuk pengawasan. Begitu pula, jika kita ingin meningkatkan cakupan penerima bantuan dengan biaya administrasi yang lebih rendah, kemungkinan kebocoran juga akan meningkat. Inilah berbagai jenis masalah yang sulit untuk diselesaikan. Munculnya masalah subyektivitas akan memperparah masalah ini.
Bagaimana menetapkan standar atau batasan untuk peserta program?
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana menerapkannya, mengingat database yang
digunakan oleh BPS hanyalah sampel yang mencakup 0,1% dari populasi Indonesia.
Bagaimana kita bisa mengidentifikasi keluarga miskin ini? Bantuan seperti ini sangat penting di sini.
Ini adalah kelemahan kita selama ini, di mana kalaupun ada data, kualitasnya buruk.
Oleh karena itu, tidak mungkin untuk menggunakan informasi ini sebagai sumber bantuan.
Termasuk data penduduk yang sudah ada di BKKBN juga lebih kualitatif.
Jika kita menghitung berapa banyak orang miskin, kita akan bingung siapa yang berhak
mendapatkan bantuan. Mungkinkah pola lama korupsi terhadap dana
pengentasan kemiskinan seperti dana Bulog yang disalurkan lewat Yayasan raudatul
Jannah akan terulang lagi ?. Pengalaman buruk semacam ini wajar-wajar saja
diungkapkan. Pola korupsi yang dilakukan atas nama rakyat kecil ini sudah menjadi
rahasia umum sehingga wajar saja kalau baru-baru ini Drs. Abdul malik MM, Assisten
pada setda NTB melakukan Sidak dalam operasi beras di mataram dan mengancam
memecat pegawai negeri yang terlibat dalam manipulasi Operasi beras untuk rakyat
miskin.
Semua orang harus mengambil pelajaran dari peristiwa buruk ini untuk berubah. Pemerintah daerah NTB harus bersiap untuk menyediakan bantuan tersebut secara menyeluruh. Problem-problem yang berkaitan dengan praktik bad governance yang sudah lama ada di masyarakat kita, terutama di birokrasi, menjadi kendala yang perlu ditangani segera. Kelompok non-miskin mungkin mencari “jalan belakang” untuk berpartisipasi dalam program. Apa pun metode yang digunakan untuk memberikan subsidi, ada kemungkinan biaya administrasi yang meningkat dan korupsi di tengah jalan. Untuk alasan ini, kontrol sosial yang ketat dari masyarakat dan PEMDA NTB harus diterapkan seketat mungkin.
Selain itu, jika Anda ingin membantu orang miskin, Anda harus mempertimbangkan jenis bantuan yang Anda berikan, yaitu pancing, bukan ikan. Sebab, memberikan uang untuk mengatasi kemiskinan mungkin sangat mudah. Setelah masyarakat diberi uang, mereka akan menjadi tidak miskin lagi untuk sementara waktu. Menghilangkan kemiskinan fisik atau mental adalah hal yang lebih sulit untuk dilakukan. Bukan hanya memberikan uang yang mungkin ludes dalam satu hari, tetapi juga menawarkan aktivitas yang menghasilkan pendapatan bagi masyarakat.
Ini adalah pekerjaan besar yang menghadang kita semua. Tidak perlu memproyeksikan
masyarakat miskin; sebaliknya, mereka harus dihilangkan dari kemiskinan fisik dan mental mereka, sehingga mereka dapat menjadi penduduk yang mandiri dan keluar dari jerat dan
lingkaran kemiskinan yang telah membelenggu mereka selama ini. Entah menyadari persoalan ini atau karena kekuatiran dituduh memproyekkan dana beras miskin (Raskin) Camat dan lurah se kota Mataram sepakat untuk meniadakan program Raskin tersebut. Hal ini ditunjukan dengan statemen “ Raskin ini selalu jadi bahle. Bagaimana tidak, sasarannya untuk orang miskin (Raskin) tapi kenyataanya menjadi Raspu (beras untuk orang mampu” (Lombok Post 6 Februari 2002)
Akhirnya Multiplier Effect (Efek Pengganda) dari kenaikan BBM ini harus menjadi
pertimbangan pemerintah daerah NTB dalam proses perumusan kebijakan terutama yang
menyangkut masyarakat miskin dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat NTB
secara keseluruhan. Kesengsaraan masyarakat hendaknya jangan ditambah lagi dengan
memproyekkan kemiskinan melalui dana kompensasi BBM
*) Penulis adalah Lektor pada Fakultas Ekonomi UNRAM Alumni School of Economics Studies The University of New England New South Wales Australia.
Leave a Reply