DR Iwan Harsono

INFLASI, KEMISKINAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI

·

·

Tulisan ini mengupas keterkaitan tiga indikator ekonomi makro yaitu Inflasi, Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Kemiskinan dan di akhiri dengan saran untuk mempertajam kebijakan guna membantu memastikan bahwa Misi ke 5 dari VISI Gubernur NTB 2019-2023 MEMBANGUN NUSA TENGGARA BARAT GEMILANG tercapai sesuai target. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPMD) Misi ke lima berbunyi NTB SEJAHTERA DAN MANDIRI yaitu melalui penanggulangan kemiskinan, mengurangi kesenjangan, dan pertumbuhan ekonomi inklusif  bertumpu pada pertanian, pariwisata dan industrialisasi. Tulisan ini diharapkan memberikan sumbangsih pemikiran terhadap  kebijakan yang tentu saja harus didukung oleh sinergi antara pemerintah, swasta dan masyarakat.

Inflasi

Inflasi (kenaikan harga) komoditi pangan dan tiket pesawat terbang  menjadi topik yang sering dibahas selama beberapa bulan terakhir ini baik di level nasional maupun di level provinsi NTB. Inflasi tahunan pada level nasional mencapai angka 4,35 persen pada level nasional dan 5,04 persen pada level provinsi NTB. Angka ini adalah angka inflasi yang tertinggi selama 7 (tujuh) tahun terakhir atau sejak Juni 2017. Angka inflasi tersebut lebih tinggi dari Target pemerintah dalam RPJM Nasional dan RPJM Daerah yang ditargetkan di kisaran 2 hingga 4 persen. Jelas capaian inflasi ini akan menjadi kendala serius bagi pemerintah Provinsi NTB dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi dan angka penurunan kemiskinan yang ditargetkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPMD) pada pada tahun 2022 sebesar 12,77%. Dampak yang dirasakan jika inflasi tinggi pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga akibat selanjutnya standar hidup dari masyarakat turun dan akan meningkatkan angka kemiskinan. Pada akhirnya, akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.

Hati hati Perangkap Paradox Angka Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi.

Secara ideal (teori ekonomi makro) dengan adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi berarti terdapat peningkatan produksi sehingga menambah lapangan pekerjaan yang ada pada akhirnya akan mengurangi kemiskinan. Bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan kemiskinan. Adapun sufficient condition ialah bahwa pertumbuhan tersebut efektif dalam mengurangi kemiskinan. Artinya, pertumbuhan tersebut hendaknya menyebar di setiap golongan pendapatan,termasuk golongan penduduk miskin-growth with equity. (N. Gregory Mankiw : 2015)

Kemiskinan merupakan suatu keadaan yang sering kali dikaitkan ketidakmampuan di sisi ekonomi dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Kemiskinan secara absolut diukur berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.

Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi masalah kemiskinan, salah satunya adalah pengendalian laju inflasi. Inflasi merupakan kenaikan harga barang secara keseluruhan dan terus menerus. Pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan produksi barang dan jasa di suatu wilayah perekonomian pada tahun tertentu terhadap nilai tahun sebelumnya yang dihitung berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan. Penyebab terjadinya pertumbuhan dapat dilihat dari sisi produksi dan sisi pengeluaran (Iwan Harsono, 2021).

Badan Pusat Statistik (BPS) NTB mencatat jumlah penduduk miskin Di NTB  mencapai sebesar 13,83% atau setara dengan 735.300 orang per September 2021. Diperlukan kerja keras dengan kebijakan yang efektif dan dukungan penuh semua pihak agar angka kemiskinan mampu mencapai target RPJMD tahun 2021 sebesar 13,42%.  Walaupun pemerintah NTB berhasil menekan jumlah penduduk miskin secara persentase lebih rendah sedikit dari angka sebelum pendemi covid-19 yaitu dari angka persentase sebesar 13,88 persen setara 705,68 orang pada tahun 2019 menjadi 13,83% atau setara 735,30 jiwa pada September 2021. Memang tidak mudah untuk mengembalikan angka jumlah absolut penduduk miskin sebelum pandemi Covid-19, yaitu jumlah orang miskin di NTB sebanyak 705.680  orang.

Harus diakui bahwa prestasi pertumbuhan ekonomi NTB sebesar 7,76 persen sepanjang tahun 2021 dimaknai sebagai mulai pulihnya aktivitas ekonomi, yang kemudian kembali menyerap tenaga kerja sehingga angka pengangguran juga ikut menurun.

Di beberapa perovinsi lain nya, terjadi Perangkap Paradox Pertumbuhan Ekonomi. Artinya, pertumbuhan ekonomi tidak selalu sejalan dengan menurunnya angka kemiskinan seperti teori ekonomi makro. Faktanya, ada provinsi yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi angka kemiskinannya tidak menurun, misalnya menonjol terjadi di provinsi Papua. Sepanjang 2021, pertumbuhan ekonomi Papu sangat tinggi, yakni tumbuh 14,28 persen pada kuartal I/2021. Selanjutnya pada kuartal II tumbuh 13,14 persen dan pada kuartal III bahkan mencapai 14,54 persen. Tetapi pertumbuhan yang sangat tinggi tersebut justru diikuti oleh peningkatan angka kemiskinan. Menurut BPS, penduduk miskin di Papua pada tahun 2021 meningkat dari 26,86 persen menjadi 27,38%. Kondisi ekonomi di Papua ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang lebih didorong oleh sektor pertambangan belum secara optimal mendorong terciptanya lapangan kerja yang memadai sehingga belum optimal membantu mengentaskan kemiskinan.

Pertumbuhan ekonomi Provinsi NTB pada triwulan I/2021 pertumbuhan ekonomi relatif tinggi yaitu 4,77 persen. Selanjutnya pada kuartal II tumbuh 2,4214 persen dan pada kuartal III bahkan mencapai 3,16 persen mampu berkontribusi terhadap pengurangan kemiskinan. Jumlah Penduduk Miskin September 2021 turun sebanyak 10.740 orang dibandingkan September 2020, walau mestinya bisa lebih banyak lagi. Sukses dan kerja keras keras pemerintah Provinsi NTB yang telah tingkat pertumbuhan ekonomi NTB sepanjang tahun 2021 sebesar 7,76 persen sangat di apresiasi. Kalau dibedah lebih jauh sumber pertumbuhan pertumbuhan ekonomi NTB tahun 2021 berasal dari pertama, pengeluaran konsumsi Rumah Tangga  2.55 persen. Kedua, pengeluaran Konsumsi Lembaga Nono-Profit yang melayani Rumah Tangga (LNPRT) 0.14 persen. Ketiga, pengeluaran Konsumsi Pemerintah 0.27 persen. Keempat dari pembentukan Modal Tetap Bruto  sebesar 0.68 persen. Kelima, pertumbuhan ekspor luar negeri (pertambangan) sebesar 11.63 persen.

Walaupun Provinsi NTB terlepas dari Perangkap Paradox Pertumbuhan Ekonomi, ada sedikit kemiripan Pertumbuhan ekonomi NTB dan Papua yaitu sama sama pertumbuhan ekonominya dominan didorong oleh sektor Pertambangan (11,63 persen) sedangkan pertumbuhan yang bersumber dari  pengeluaran konsumsi Rumah Tangga  hanya 2,55 persen. Fakta tersebut memberi implikasi bahwa pemerintah hendaknya tidak hanya sekedar mengejar pertumbuhan, tetapi juga harus meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi dan untuk menjamin terciptanya lapangan kerja.

Walaupun pemerintah NTB termasuk salah satu provinsi yang progresif dalam pengurangan kemiskinan tapi capaian prestasi tersebut memenuhi target RPJMD 2019-2023. Lambatnya penurunan angka kemiskinan juga terkait dengan upah riil buruh tani dan buruh bangunan yang merupakan pekerja miskin. Nilai Tukar Petani (NTP) NTB pada September 2021 turun 0,25 persen dibanding NTP bulan sebelumnya. Penurunan NTP dikarenakan Indeks Harga yang Diterima Petani (It) turun sebesar 0,51 persen, lebih tinggi dari penurunan Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib) sebesar 0,27 persen.

Angka tersebut menunjukan bahwa, upah riil buruh tani dan upah riil buruh bangunan justru mengalami penurunan. Di sisi lain, akibat terjadinya inflasi, Garis Batas  Kemiskinan mengalami kenaikan dari Rp. 408.005 pada September 2020 menjadi Rp 423.505 pada Maret 2021 dan meningkat lagi menjadi  Rp 441.711 September 2021. Kondisi ini jelas menunjukkan sebagian penduduk miskin masih mengalami kesulitan untuk keluar dari jurang kemiskinan karena adanya inflasi yang berakibat meningkatnya Garis Batas Kemiskinan.

Angka angka ekonomi makro tersebut adalah cerminan indikator perbaikan kesejahteraan masyarakat. Di NTB, selama tahun 2021 penurunan kemiskinan di daerah perkotaan relatif lambat dibandingkan dengan capaian tahun tahun sebelumnya. Persentase penduduk miskin di pedesaan turun 0,25 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pemulihan pendapatan yang didorong oleh sektor-sektor ekonomi di perkotaan (seperti industri manufaktur, perdagangan dan jasa) masih terbatas dibandingkan dengan sektor pertanian di pedesaan yang ternyata lebih resilient.

Disisi lain terjadi peningkatan Indeks Kedalaman Kemiskinan di daerah perdesaan NTB lebih tinggi dibandingkan di daerah perkotaan. Dari Maret 2021  ke September 2021 Indeks Kedalaman Kemiskinan Naik 0,263 poin, demikian juga Indeks Keparahan Kemiskinan naik 0,137 poin. Kenaikan Indeks kedalaman kemiskinan tersebut sepanjang tahun 2021 memberi makna terjadi pelebaran kesenjangan antar penduduk di bawah garis kemiskinan. Sedangkan kenaikan indeks keparahan kemiskinan menunjukan ada segmen kemiskinan, terutama kemiskinan ekstrem, yang belum dapat ditekan, baik melalui program-program bantuan sosial pemerintah maupun melalui penciptaan lapangan kerja di NTB.

Saran Implemenasi Kebijakan

Pemerintah perlu meningkatkan program-program yang terfokus pada kelompok miskin. Tidak hanya sekedar bantuan tunai tetapi yang bisa menciptakan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan, seperti program padat karya. Idealnya pemerintah juga seharusnya tidak  mendorong kenaikan inflasi, misalnya dengan mempertimbangkan secara sungguh sungguh rencana kebijakan kenaikan harga BBM dan LPG, serta listrik, walaupun menjadi pilihan sulit karena meningkatnya beban subsidi APBN. Hal lain yang mendesak dilakukan adalah pemerintah melalui Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) juga harus menjamin pasokan dan distribusi barang pangan sehingga bisa menekan laju inflasi.

Upaya ekstra dalam penanganan kemiskinan mutlak harus dilakukan mengingat kompleksnya permasalahan kemiskinan. Perbaikan kualitas Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang dilakukan oleh pemerintah perlu dipercepat agar bantuan terhadap penduduk miskin  benar-benar efektif dan tepat sasaran. Hal yang juga lebih mendasar dalam pengentasan kemiskinan adalah menggalakkan program-program pemberdayaan masyarakat miskin dan rentan miskin untuk mengurangi ketergantungan mereka terhadap bantuan orang lain/ pemerintah – memberi pancing lebih baik daripada memberi ikannya.

Program-program penciptaan lapangan kerja, pendidikan dan pelatihan, peningkatan akses terhadap permodalan, akses terhadap pasar, akses terhadap pelayanan kesehatan, listrik, air bersih, dan sebagainya perlu ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya. Program terkait dengan kemudahan dan kelancaran mobilitas orang. barang dan dan jasa untuk masyarakat sangat miskin yang banyak bermukim di daerah-daerah terpencil menjadi krusial untuk diprioritaskan dalam penyusunan kebijakan.

The last but not least, upaya pengendalian inflasi bahan pangan yang saat ini menjadi isu penting harus terus menjadi agenda utama mengingat kontribusinya yang besar dalam struktur pengeluaran masyarakat miskin atau sebesar 74,4 persen. Namun, keseluruhan upaya ini jangan sampai mengorbankan pendapatan petani sebagai produsen. Nilai tukar yang kompetitif di tingkat petani akan menjadi insentif bagi mereka untuk terus berproduksi. Akhirnya, ketahanan pangan yang merupakan bagian utama dalam pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dapat terwujud Insya Allah.

*) Staf Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas dan Alumni School of Business, Economics & Law University of New England.dapat dihubungi  Email:iwanharsono@unram.ac.id


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *